Memelihara Tradisi Lama Yang Baik Dan Mengambil Tradisi Baru Yang Lebih Baik

Rabu, 13 April 2016

Senjata Tradisional Betawi

SENJATA TRADISIONAL BETAWI

Senjata merupakan alat kepanjangan tangan manusia dalam pembelaan diri, dalam setiap perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan lingkungan alam. Oleh karenanya sering ditemukan kesamaan model senjata antara satu daerah dengan daerah lain yang letak geografisnya berdekatan. Tidak sedikit dari senjata-senjata itu berakar dari alat pertanian dan perkakas sehari-hari,
Proses asimilasi dan tranformasi kebudayaan pada suatu daerah, yang meski letak geografis saling berjauhan, memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan model senjata tradisional. Proses ini terjadi pada satu kebudayaan yang mempunyai karakter terbuka, seperti pada kebudayaan Melayu yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India (abad 1M) dan Cina (abad 16 M).
Bagi masyarakat Betawi yang menurut arkeologi Uka Tjandrasasmita sebagai penduduk natif Sunda Kelapa (Monografi Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977), memiliki senjata tradisional yang belum terpengaruh kebudayaan asing sejak zaman Neolithikum atau zaman Batu Baru (3000-3500 tahun yang lalu). Hal ini dapat ditemukan pada bukti arkeologis di daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia.
Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
Senjata Tradisional Betawi Genre Awal
  • Rotan
Rotan adalah jenis senjata tradisional Betawi yang digunakan pada permainan Seni Ketangasan Ujungan, termasuk kategori senjata alat pemukul. Disinyalir dari Seni Ujungan inilah awal beladiri berkembang. Pada masa awal terbentuknya Seni Ketangkasan Ujungan, rotan yang digunakan mencapai panjang 70-100cm. Pada ujung rotan disisipkan benda-benda tajam seperti paku atau pecahan logam, yang difungsikan untuk melukai lawan.
Pada perkembangannya rotan yang digunakan hanya berkisar 70-80cm, selanjutnya paku dan pecahan logam di ujung rotanpun tidak lagi digunakan untuk pertandingan yang sifatnya hiburan, rotan jenis ini dipakai hanya ketika berperang menghadapi musuh sesungguhnya. Tubuh lawan yang menjadi sasaranpun dibatasi hanya sebatas pinggang ke bawah, utamanya tulang kering dan mata kaki.
  • Punta
Punta adalah senjata tajam jenis tusuk, dengan panjang sekitar 15-20cm. Senjata ini lebih berfungsi sebagai senjata pusaka yang menjadi simbol strata sosial pada waktu itu, karena senjata tajam ini tidak pernah digunakan untuk bertarung. Di Jawa Barat mungkin dikenal sebagai Kujang, namun Kujang lebih variatif dari segi bentuk dan motif ciung.
  • Beliung Gigi Gledek
Beliung adalah sejenis kapak dengan mata menyilang kearah gagang pegangan, umumnya digunakan sebagai perkakas untuk membuat kayu. Beliung Gigi Gledek merupakan jenis kapak dengan mata kapak terbuat dari batu, merupakan teknik pembuatan senjata sisa peninggalan zaman batu baru di Betawi yang masih tersisa antara abad 1-3M. Beberapa tokoh yang diketahui pernah menggunakan ini sebagai senjata andalannya adalah Batara Katong (Wak Item) dan Salihun pemimpin kelompok Si Pitung. Beliung digunakan Salihun sebagai sarana dalam melakukan aksi perampokan maupun pelarian dengan memanjat pagar tembok.
  • Cunrik (Keris Kecil Tusuk Konde)
Cunrik merupakan senjata tradisional para perempuan Betawi, biasa digunakan oleh para resi perempuan yang tidak ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya, terbuat dari besi kuningan dengan panjang kurang dari 10cm. Salah seorang resi perempuan yang terkenal menggunakan cunrik ini adalah Buyut Nyai Dawit, pengarang Kitab Sanghyang Shikshakanda Ng Karesiyan (1518). Dimakamkan di Pager Resi Cibinong.
Senjata Tradisional Betawi yang dipakai dalam Maenpukulan
  • Kerakel (Kerak Keling) / Blangkas
Kerakel (Kerak Keling) merupakan jenis senjata pemukul, merupakan perkembangan dari senjata rotan Ujungan. Orang Betawi Rawa Belong lebih mengenalnya dengan sebutan Blangkas.
Batang pemukul pipih memiliki panjang lebih pendek dari rotan (40-60cm), terbuat dari hasil sisa pembakaran baja hitam (kerak keling) yang dicor. Ujung gagang lancip yang difungsikan juga sebagai alat penusuk. Pada gagang dibuat lebih ringan dengan bahan terbuat dari timah. Agar tidak licin para jawara zaman dulu melapisinya dengan kain. Sekilas bentuk Kerakel mirip dengan Kikir, sejenis perkakas yang difungsikan sebagai pengerut besi.
Pada akhir abad 17 orang-orang peranakan cina di luar kota memodifikasi kerakel menjadi sebuah bilah dengan dua mata tajam, di sebut Ji-Sau (Ji, berarti dua-Sau, berarti bilah). Seiring dengan perkembangan waktu, lidah masyarakat Betawi memetaforkan kata ji-sau menjadi pi-sau, sekalipun pi-sau hanya bermata satu.
  • Golok
Golok merupakan jenis senjata tajam masyarakat Melayu yang paling umum ditemukan, walaupun dengan penamaan yang berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar masyarakat di pulau Jawa sepakat menamakan senjata tajam jenis “bacok” ini dengan golok.
Pada masyarakat Betawi keberadaan golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat yang melingkupinya. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan penamaannya, sedangkan kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat kerucut dari sumber pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa Barat, seperti Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi.
  • - Golok Gobang
Golok Gobang, adalah golok yang berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek. Panjang tidak lebih dari panjang lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok Gobang yang pada ujung (rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni digunakan sebagai senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan Golok Candung. Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran hewan, hanya melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah menyebutnya dengan istilah “Gagang Jantuk”.
Bilah golok gobang polos tanpa pamor atau wafak yang umum dipakai sebagai golok para jawara, dengan diameter 6cm yang tampak lebih lebar dari golok lainnya
  • - Golok Ujung Turun
Golok jenis ini adalah golok tanding dengan ujung yang lancip, panjang bilah sekitar 40cm, dengan diameter 5-6cm. Umumnya golok Ujung Turun ini menggunakan wafak pada bilah dan motif ukiran hewan pada gagangnya. Gagang dan warangka golok lebih sering menggunakan tanduk, hal ini dimaksudkan sebagai sarana mengurangi beban golok ketika bertarung. Di Jawa Barat golok jenis ini merupakan perpaduan antara jenis Salam Nunggal dan Mamancungan.
  • - Golok Betok & Badik Badik
Golok Betok adalah golok pendek yang difungsikan sebagai senjata pusaka yang menyertai Golok Jawara, begitupun Badik Badik yang berfungsi hanya sebagai pisau serut pengasah Golok Jawara. Kedua senjata tajam ini digunakan paling terakhir manakala sudah tidak ada senjata lagi di tangan.
Siku
Orang Betawi menyebutnya sebagai Siku, karena bentuknya yang terdiri dari dua batang besi baja yang saling menyiku atau menyilang. Ujung tajam menghadap ke lawan. Dalam setiap permainan siku selalu digunakan berpasangan. Dalam istilah lain senjata tajam jenis ini disebut Cabang atau Trisula.

KAPTEN LUKAS KUSTARIO " BEGUNDAL KARAWANG " KESETIAAN YANG IKHLAS KEPADA NEGARA DEMI SEORANG BEGUNDAL, RATUSAN PENDUDUK RELA DIBANTAI HINGGA TEWAS.


Pria ini bertubuh kecil, namun kiprahnya sangat merepotkan pemerintahan Belanda di Indonesia. Pria Magetan kelahiran 1920 ini bernama Lukas Kustaryo.
Saat zaman pendudukan Jepang, Lukas masuk dalam pasukan Peta dan ditempatkan di Brigade III/Kian Santang, Purwakarta, yang saat itu dipimpin Letkol Sidik Brotoatmodjo.
Lukas Kemudian menjadi Komadan Kompi Batalyon I Sudarsono/ Kompi Siliwangi atau yang dikenal sebagai Kompi Siliwangi Karawang-Bekasi. Saat ini menjadi Batalyon Infantri 302 Tajimalela, Bekasi, di bawah Kodam III Siliwangi.
Saat menjadi komandan kompi, Lukas memang dikenal sebagai pejuang yang gagah berani dan punya banyak taktik untuk mengalahkan pasukan Belanda. "Ia suka memakai seragam pasukan Belanda untuk membunuh para tentara Belanda. Selain itu pria tersebut sangat gesit seperti belut saat disergap Belanda," kata Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede saat berbincang-bincang dengan detik+.
Sementara Sya'ih Bin Sakam pejuang asal Rawagede saat ditemui detik+ Agustus 2010 mengatakan, kiprah Lukas dalam memperjuangkan kemerdekaan sangat besar. Sebab Lukas seringkali menyabotase kereta yang membawa persenjataan Belanda yang diangkut pakai kereta api.
Suatu hari, kata Sa'ih, Lukas pernah membajak rangkaian kereta yang berisi penuh senjata dan amunisi bagi pasukan Belanda dari Karawang menuju Jakarta. Peristiwa itulah yang membuat pasukan Belanda menjadi kesal bukan kepalang kepada Lukas. Hingga akhirnya, Lukas pun menjadi target utama bagi pasukan Belanda di wilayah Karawang hingga Jakarta.
Sebagai orang yang sangat dicari pasukan penjajah Belanda, semua kegiatan Lukas dimonitor. Pasukan Belanda pun rela mengeluarkan uang sejumlah ribuan golden untuk sekadar mencari informasi di mana keberadaan Lukas.
Nah, pada 8 Desember 1947, Belanda mendengar kabar kalau Lukas sedang ada di Rawagede. Informasi itu pun langsung disikapi pasukan Belanda. Skenario penyergapan pun dilakukan pasukan Belanda di Karawang-Bekasi. Bahkan karena dianggap sebagai orang yang paling berbahaya, Pasukan Belanda juga mengerahkan pasukan dari Jakarta.
Pasukan yang datang ke Rawagede bersenjatakan lengkap. Mereka sebagian besar berasal dari pos pasukan Belanda yang ada di Jakarta. Bahkan Pasukan Belanda sampai-sampai mengerahkan tank untuk mengakhiri perjuangan Kapten Lukas saat itu.
"Tapi sejumlah tank itu tidak bisa masuk ke Rawagede lantaran para pejuang dan warga memutus semua jembatan yang menghubungkan ke Rawagede. Akhirnya pasukan infantri yang masuk," jelas Sya'ih seorang saksi hidup, yang meninggal pada Juni 2011, lalu.
Saat itu pasukan infantri Belanda mengepung Rawagede. Sementara pasukan kavaleri melepaskan tembakan meriam dan cannon ke arah desa. Namun tetap saja Kapten Lukas saat itu masih bisa lolos.
Soal lolosnya Lukas dari kepungan Belanda, ada dua versi. Pertama, sebelum pengepungan terjadi Lukas dan pasukannya sudah pergi terlebih dahulu dari Rawagede sehingga pasukan Belanda tidak bisa menemukannya. Sementara versi lainnya, Lukas ada di Rawagede saat pengepungan terjadi. Hanya saja ia berhasil lolos lantaran diselamatkan para pejuang lainnya.
"Kapten Lukas saat pengepungan bersama anak buahnya lolos dari kepungan dan bersembunyi di Desa Pasirawi (berjarak 2 kilometer dari Rawagede. Saya dapat cerita dari ayah saya (Marta), yang ikut menyelamatkan Kapten Lukas," kata Edi Junaidi, anak korban pembantaian Rawagede saat ditemui detik+.
Dikatakan Junaidi, Lukas bersembunyi di Desa Pasirawi selama 1 minggu. Setelah itu Lukas berangkat ke Jakarta. Lukas diketahui pergi ke wilayah Cililitan untuk menggempur pasukan Belanda yang ada di sana.
Lolosnya Lukas terang saja membuat pasukan Belanda menjadi kesal. Akhirnya mereka membantai warga Rawagede karena dianggap menyembunyikan Lukas. Warga akhirnya dibantai secara keji oleh pasukan Belanda yang mengepung Rawagede. Saking bencinya terhadap Lukas, pemerintah Belanda sampai-sampai mengabadikannya dalam bentuk patung.
Soal patung Lukas diungkapkan Sukarman yang sempat dua kali datang ke Belanda untuk menghadiri pengadilan gugatan pembataian Rawagede. Kata Sukarwan, ahli waris korban pembantaian Rawagede, patung itu ada di sebuah gedung di Den Hag, Belanda.
"Saya tidak tahu persis lokasinya. Tapi saat datang ke gedung itu saya melihat patung separuh badan yang bertuliskan "Lukas" dan di bawah tulisan itu tertulis "Begundal dari Karawang," jelas Sukarman kepada detik+.
Usai hengkangnya pasukan Belanda dari Indonesia, nama Lukas seolah hilang ditelan Bumi. Ia baru muncul ketika monumen pembantaian Rawagede didirikan. Saat itu, kata Sukarman, Lukas 3 kali datang ke pemakaman pahlawan Rawagede. Dan setahun kemudian, 8 Juni 1997, Lukas meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Cipanas.

Selasa, 05 April 2016

BEKSI

Silat Troktok

Silat KEMBANG GOYANG

Sedikit Ngebuka tentang 3 Jenis Golok Khas Betawi, Yang Biasa Dipakai Jawara

foto: istimewa
foto: istimewa
Keragaman etnis membuat budaya di Indonesia menjadi sangat kaya. Keragaman ini membuat Indonesia menjadi begitu unik dan menarik dimata dunia.
Salah satu contoh keragaman budaya di Indonesia adalah, di setiap daerah atau suku di Indonesia masing-masing memiliki senjata khas tradisional.
Orang Betawi memiliki senjata khasnya yaitu golok betawi. Golok bagi masyarakat Betawi dahulu, biasanya digunakan para jawara (pendekar) sebagai senjata untuk membela diri ataupun melawan penjajah. Di rumah fungsinya sebagai alat untuk bekerja di ladang, atau menyembelih hewan.
Namun pada saat sekarang ini, setelah Indonesia merdeka. Beberapa senjata tradisional tersebut digunakan hanya untuk keperluan sehari-hari, misalnya sebagai alat pertanian. Golok betawi juga dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa Barat dan Banten. Namun, secara fisik dan tampilan model antara golok jawa barat, banten dan betawi sudah pasti berbeda.
Masyarakat Betawi kerap menggunakan golok sebagai senjata atau perkakas mereka. Keberadaan golok sangat identik di tengah masyarakat betawi.
Inilah tiga jenis golok dalam tradisi betawi, yaitu :
  1. Golok gobag
foto: istimewa - Golok Gobag
foto: istimewa – Golok Gobag
Tembaga menjadi bahan utama pembuatan golok gobag. Bentuk dari golok ini cenderung pendek. Golok gobak memiliki bentuk ujung yang rata serta melengkung di  bagian punggung golok.
Gagang pada golok ini tidak memiliki ukiran. Bahan dari gagang itu sendiri adalah kayu rengas, orang Betawi menyebutnya dengan sebutan gagang jantuk.
  1. Golok ujung turun
foto: istimewa - Golok Ujung Turun
foto: istimewa – Golok Ujung Turun
Golok ujung turun memiliki ujung yang lancip. Biasanya golok ini menggunakan wafak (ukir) pada bilahnya serta terdapat ukiran hewan pada gagangnya.
Adapun gambar hewan yang diwafak digolok mencerminkan kepercayaan orang Betawi akan hewan yang dianggapnya keramat. Hewan yang paling difavoritkan adalah macan, misalnya ‘golok Mat Item’ yang juga berwafak gambar macan.
Golok jenis ini sering dibawa dan diselipkan disarung oleh para jawara betawi. Golok ini juga menggunakan tanduk, agar ketika dipakai bertarung beban golok menjadi lebih ringan.
  1. Golok betok
foto: istimewa - Golok Betok
foto: istimewa – Golok Betok
Golok yang terakhir adalah golok betok (atau badik-badik). Sama seperti golok gobak, golok ini menpunyai bentuk yang pendek dan bisanya berfungsi sebagai senjata pusaka.
Golok jenis ini pun sering dibawa para jawara bersama golok ujung turun. Orang betawi menganggapnya pisau serut untuk mengasah golok ujung turun.
Pembagian Kategori Golok Pada Masyarakat Betawi
Masyarakat Betawi membagi Golok ke dalam dua kategori, yakni golok kerja (gablongan bendo atau golok dapur), yang biasa digunakan untuk keperluan rumah tangga.
Kedua golok simpenan (sorenan), ini dibedakan lagi menjadi dua yakni, ‘sorenan simpenan’ untuk memotong hewan dan ‘sorenan pinggang’ untuk bela diri.
Golok sebagai gablongan umumnya tidak bersarung dan disimpan di dapur. Sedangkan golok sorenan bersarung dan disimpan ditempat yang tidak mudah terjangkau oleh anak-anak. P
Menyimpanan golok dibawah bantal biasa dilakukan oleh para jawara, dan biasanya golok tersebut diberi nama seperti binatang peliharaan, misalnya ‘si batok’. Ini dilakukan turun temurun, untuk menunjukkan kekhasan dan identitas dari golok serta pemiliknya, (berbagai sumber).

Salah satu senjata tradisional masyarakat Betawi, yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan sudah menyatu dalam kehidupan mereka. Setiap keluarga Betawi pasti memilikinya, bahkan setiap lelaki pada zaman dahulu selalu membawanya kemanapun mereka pergi. Namun karena perkembangan zaman serta teknologi sehingga golok sudah dianggap tidak praktis lagi dan mulai jarang ditemukan masyarakat Betawi yang memilikinya, kecuali yang masih populer golok gablongan (golok kerja). Walaupun secara fisik golok tidak lagi menyertai ke mana seorang lak-laki pergi, namun berbagai kesenian yang tumbuh di kalangan orang Betawi, terutama lenong selalu menampilkan tokoh-tokoh yang menyelipkan golok sebagai senjata andalan, bahkan ada beberapa pantun yang diciptakan berkaitan dengan golok.
Golok gue golok Ciomas,
Sepotong perak sepotong emas,
Kalau ngomong jangan bikin panas,
Entar gue cincang seperti nanas.
Golok dalam masyarakat Betawi dibedakan ke dalam dua kategori, yakni golok kerja (gablongan bendo atau golok dapur) digunakan untuk keperluan rumah tangga. Kedua golok simpenan (sorenan) ini dibedakan lagi menjadi dua yakni sorenan simpenan untuk memotong hewan dan sorenan pinggang. Ada juga yang berbentuk trapesium. Gagangnya terbuat dari kayu yang keras seperti kayu jambu atau gading dan ada juga dari tulang hewan. Badannya terbuat dari besi bekas "per" kendaraan bermotor (truk). Sarungnya juga terbuat dari kayu yang kuat dan ulat yang kemudian dirapatkan dengan tali.
Golok dalam pembuatannya melalui proses yang cukup lama dan rumit. Setidaknya ada empat belas perkakas yang dipergunakan untuk pembuatan golok, yakni:
1. Tatakan atau paron sebagai alas tempaan, berupa besi dengan berat 60-75 kg. Bentuknya bervariasi ada yang berbentuk huruf "T".
2. Cetok digunakan untuk menjepit atau mencengkram golok yang masih dalam keadaan setengah jadi, terutama jika akan dihaluskan dengan kikir. Bentuknya menyerupai kunci Inggris tetapi dalam ukuran besar.
3. Pungsong digunakan untuk membuat angin yang sangat diperlukan untuk mempertahankan bara api, cara kerjanya sama seperti pompa angin. Alat ini terbuat dari papan yang cukup panjang.
4. Sepit atau capit digunakan untuk menjepit atau mengambil bahan golok yang masih dalam keadaan membara. Perkakas ini bentuknya menyerupai tang, tetapi pegangannya panjang mencapai 50 cm.
5. Pahat digunakan untuk membelah dan memotong bahan yang akan dijadikan golok. Perkakas ini terbuat dari baja.
6. Palu, bentuknya seperti huruf "T" berdasarkan kegunaannya dibedakan menjadi tiga yaitu palu yang digunakan untuk membuat/memisahkan besi yang tidak diperlukan. Beratnya 1,5 kg dan hanya tukang yang menggunakan. Kedua dan ketiga beratnya sarna 3 kg, sama-sama digunakan untuk kenek, namun kegunaannya berbeda, yang satu digunakan untuk memipih atau menipiskan besi / baja dan yang satu lagi untuk menggetok pahat.
7. Kikir, digunakan untuk menghaluskan golok yang sudah sempurna mendekati selesai. Perkakas ini terbuat dari baja (bagian badannya) dan kayu (bagian gagangnya).
8. Pengkorek api, sesuai dengan namanya digunakan untuk mengorek-orek bara api. Perkakas ini terbuat dari besi yang panjangnya 50 cm bagian ujungnya melengkung, sementara ujung lainya diberi pegangan yang terbuat dari kayu.
9. Bak air, digunakan untuk mendinginkan calon golok dengan cara mencelupkan besi atau baja yang sedang di garap menjadi golok. Perkakas ini terbuat dari derum bekas yang dipotong, dengan tinggi kurang lebih 50 cm.
10. Sapu lidi, digunakan untuk membersihkan tempat tempaan (tatakan) dari reruntuhan besi atau baja. Perkakas ini terbuat dari daun kelapa (janur) yang diambil lidinya, kemudian diikat dijadikan satu.
11. Arang, berfungsi sebagai bahan bakar. Arang ini terbuat dari pohon rambutan.
12. Batu asah, digunakan untuk menghaluskan dan sekaligus untuk membuat golok menjadi tajam.
13. Kliwaan digunakan untuk meluruskan bilah golok. Perkakas ini terbuat dari as (baja yang bulat dan panjang).
14. Sapu api, digunakan untuk menyapu atau mengumpulkan arang yang berserakan di dapur. Perkakas ini bentuknya menyerupai alat yang biasa digunakan untuk mengapur dinding, bagian ujungnya terbuat dari akar pohon pandan, sedangkan gagangnya terbuat dari pipa besi.
Pembuatannya pun cukup rumit, pertama, besi atau baja dipanaskan selama kurang lebih 10 menit di atas pungsong hingga memerah, diangkat dengan capit, digetok lalu disepuh atau dicelopkan ke dalam bak air. Tahap kedua pemotongan besi atau baja yang akan dijadikan golok. Tahap ketiga pembelahan, tetapi potongan besi tadi dipanaskan terlebih dahulu hingga membara baru dibelah dengan meletakkannya diatas tatakan kemudian baru dibelah dengan pahat baja. Tahap keempat pembentukan golok dengan tetap dipanaskan sebelumnya sambil dipipihkan. Tahap kelima, penghalusan dengan kikir pada alat yang disebut cetok. Tahap keenam, penyepuhan dengan dicelupkan ke bak air agar ("tua"=sepuh) kualitasnya baik. Tahap ketujuh, penajaman dengan menggosokkan mata golok pada batu asah agar tajam. Tahap kedelapan, pembuatan selut semacam cincin yang gunanya untuk memperkuat pegangan (hulu). Biasanya terbuat dari besi dengan cara besi yang lurus dibakar kemudian dibentuk melingkar seperti cincin. Tahap kesembilan (terakhir), pembuatan gagang dan serangkanya yang terbuat dari kayu.
Ada empat cara orang Betawi memperoleh golok, pertama dengan membeli di pasar atau pada penjaja golok yang keluar masuk perkampungan. Golok yang diperoleh dengan cara ini biasanya untuk keperluan rumah tangga (gablongan). Kedua dengan memesan kepada seorang pande besi atau orang yang dianggap tahu tentang golok. Golok yang diperoleh dengan cara ini biasanya digunakan untuk sorenan. Ketiga dari pemberian teman atau orang lain atau warisan dari orang tua, kakek, atau nenek moyang. Golok yang diperoleh dengan cara ini biasanya digunakan sebagai sorenan simpanan. Keempat, cara ini sering disebut cara gaib, dan sangat berkaitan dengan jodoh, artinya, walau dengan berbagai cara telah ditempuh, kalau belum jodoh tidak akan mendapatkannya. Sebaliknya, tanpa mencarinya tetapi kalau jodoh ada saja penyebabnya, sehingga seseorang dapat memiliki golok yang diperolehnya secara gaib.
Golok sebagai gablongan umumnya tidak bersarung dan disimpan di dapur. Sedangkan golok sorenan bersarung dan disimpan ditempat yang tidak mudah terjangkau oleh anak-anak. Penyimpanan dibawah bantal biasa dilakukan oleh para jawara dan biasanya golok tersebut diberi nama sendiri misalnya "si Batok" untuk menunjukkan kekhasan dan identitas dari golok serta pemiliknya. Sementara ukuran golok baik mengenai panjang pendek atau besar kecil golok tidak ada kaitannya dengan baik dan jeleknya golok hanya menyangkut masalah selera saja.
Golok juga merupakan wujud fisik kebudayaan sinkretik, yang muncul pada golok berwafak, atau wifik. Wafak adalah aksesori mistikal yang unsur-unsumya adalah huruf dan angka Arab, serta gambar hewan. Jenis wafak pada golok bukan pekerjaan pengrajin biasa, karena si pembuat dalam proses pengerjaan harus selalu dalam keadaan suci, artinya tidak boleh ada hadas. Dan sebelumnya yang bersangkutan harus berpuasa dulu. Begitulah persyaratan membuat golok berwafak sebagai pusaka Betawi. Golok berwafak harus dirawat, setidaknya secara teratur mengolesnya dengan minyak misik, atau buhur. Adapun gambar hewan yang diwafak digolok mencerminkan kepercayaan orang Betawi akan hewan yang dianggapnya keramat. Hewan yang paling difavoritkan adalah macan, misalnya golok Mat Item juga berwafak gambar macan.