Memelihara Tradisi Lama Yang Baik Dan Mengambil Tradisi Baru Yang Lebih Baik

Rabu, 09 Maret 2016

CAGAR BUDAYA SITU BABAKAN







Situ Babakan adalah kawasan Cagar Budaya Betawi yang ditetapkan pemerintah DKI Jakarta, menggantikan kawasan Condet di Jakarta Timur yang dianggap sudah tidak relevan menyandang predikat Cagar Budaya Betawi karena perubahan fisik dan non-fisik kawasan yang sangat pesat.

Setelah gagal mempertahankan kawasan Condet di Jakarta Timur sebagai kawasan budaya Betawi--akibat ketidakjelasan dan ketidakonsistenan Pemda DKI melaksanakan rencananya--Pemda DKI pada 1 Juni 2001 kembali mencanangkan kawasan Perkampungan Budaya Betawi yang berlokasi di Situ Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Pencanangan kampung Betawi itu dilakukan Gubernur DKI Sutiyoso bersamaan dengan dimulainya rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-474 Jakarta.

Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan luasnya sekitar 165 hektar termasuk Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong dengan batas fisik, bagian utara berbatasan dengan Jalan Moch Kahfi II; bagian timur berbatasan dengan Jalan Putera, Jalan Mangga Bolong Timur; bagian selatan berbatasan dengan Jalan Tanah Merah, Jalan Srengseng Sawah, Jalan Puskesmas; sementara bagian Barat berbatasan dengan Jalan Moch Kahfi II. Perkampungan ini terdiri dari empat rukun warga (RW) di mana sebagian besar warganya adalah orang asli Betawi yang sudah turun-temurun tinggal di daerah tersebut. Sebagian lagi berasal dari daerah lain, antara lain Jawa Barat dan Kalimantan yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal di sana. Mereka bertahan hidup dengan budaya asli Betawi lengkap dengan dialek dan tradisi yang khas.

Lokasi Situ Babakan adalah di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan.Lokasi ini dapat dicapai dari Jalan Srengseng Sawah maupun Jalan Moh.Kahfi II. Sebagian besar penduduknya adalah warga Betawi asli, di samping warga pendatang dari berbagai daerah Indonesia yang sudah lama diam di daerah tersebut dan beradaptasi dengan penduduk Betawi setempat.

Pemilihan Kampung Srengseng Sawah sebagai cagar budaya bukan tak beralasan. Kampung yang terletak di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan--sekitar 20 kilometer dari pusat kota itu, memang masih kental dengan budaya Betawi. Bahkan, di kawasan Situ Babakan dan Situ Mangga Bolong, sejumlah penduduk asli Betawi telah turun-menurun tinggal di daerah tersebut dan hingga kini tetap menekuni profesi sebagai petani dan pedagang.
 
 
CAGAR SEJARAH BETAWI CONDET


Condet, yang ditetapkan gubernur Ali Sadikin sebagai cagar budaya Betawi sejak 1976, boleh dikata gagal total. Warga Betawi yang dulu mayoritas di kawasan Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur ini, sudah banyak yang hengkang atau makin terdesak ke pedalaman. Sementara kebun dan pepohonan rindang yang dulunya boleh dikata tidak tertembus sinar matahari saking rimbunnya, kini berganti menjadi rumah-rumah dan gedung bertingkat. Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya, kini datang usulan baru. Pemprov DKI Jakarta diminta menjadikan Condet sebagai cagar sejarah Betawi. Usulan ini terlontar dalam seminar 'Pengembangan Pelestarian Budaya Betawi', 6 Oktober 2001, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menjadikan Condet sebagai cagar sejarah, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, punya dasar yang kuat. Ia mengemukakan temuan arkeologis pada situs Condet mengindikasi hunian purba, sedikitnya pada periode 3000 tahun SM. Toponim di Condet (Ciondet) seperti Batualam, Batu Ampar, Bale Kambang, Pangeran, Dermaga, mencerminkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan masa lampau. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, pada penelitian arkeologis pada tahun 1970-an telah menemukan benda-benda prasejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Benda-benda itu banyak terdapat di tepian sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Kalibata Pejaten, Jakarta Selatan. Benda-benda ini diduga berasal kira-kira 1000 - 1500 SM. "Pada masa itu, di Condet dan beberapa tempat di Jakarta sudah ditempati nenek moyang bangsa Indonesia," tulis sejarawan Sugiman MD dalam buku 'Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi.' Berarti di zaman batu baru (neolithic) orang telah hidup dan tinggal di Condet, dengan mempergunakan benda-benda tadi sebagai alat untuk menebang pohon, memotong, dan untuk berbagai keperluan lainnya. Khusus di Pejaten, pada penggalian 1971 didapat pula lampu perunggu, lampu kuil, menandakan di sana telah dikenal orang akan adanya kepercayaan atau agama .Untuk lebih memperkuat usulannya kepada Pemprov DKI, Ridwan mencontohkan batu ampar yang kini menjadi nama jalan dan kelurahan di Condet. Batu ampar yang di Tangerang disebut batu ceper adalah batu yang biasanya berukuran minimal 4 x 6 meter. Di atas batu ini sesajen diletakkan. Sangat mungkin batu ampar di Condet masih ada di suatu tempat di kebon penduduk. Bale Kambang, nama kelurahan di Condet, merupakan pasanggrahan raja-raja. Dapat dipastikan sisa bangunannya sudah musnah, tetapi lokasinya masih dapat diperkirakan. Sedangkan batu alam, juga nama jalan di Condet, dalam tradisi kekuasaan purba, adalah tempat melantik raja baru.

Di samping merupakan permukiman tertua di Jawa, Condet yang penduduknya sangat taat menjalankan syariat agama, pernah dikenal sangat heroik melawan penjajah. Pada 1916, rakyat Condet di bawah pimpinan Haji Tong Gendut mengangkat senjata melawan tuan tanah Belanda yang menguasai Cibeureum, Kranggan, dan Cimanggis, di Kabupaten Bogor. Tempat tinggal tuan tanah itu di depan Jl Raya Condet sekarang ini, yakni di Kampung Gedong. Rumah tuan tanah ini disebut kongsi, yang kini dipakai untuk Kesatrian Polisi Tanjung Timur. Tong Gendut mengumpulkan para pemuda berjihad fi sabilillah melawan tuan tanah yang selalu memeras penduduk. Tetapi pemberontakan ini dapat digagalkan.Pemberontakan kedua terjadi 1923, tidak menggunakan kekerasan senjata, melainkan dengan melakukan penebangan pohon-pohon besar. Pemberontakan ini berhasil membuat para mandor tuan tanah mundur, karena tidak berani menghadapi massa rakyat. Sejak saat itu, rakyat Condet makin berani melawan Belanda, termasuk menunggak pajak atau blasting. Ini berlangsung hingga 1934, tahun ketika rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai pemerasan yang dilakukan tuan tanah. Rakyat meminta bantuan hukum kepada tokoh-tokoh perjuangan: Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin, dan lain-lain. Rakyat Condet akhirnya menang perkara. Tetapi keputusan baru datang setelah pemerintah Federal. Di masa federal ini, Belanda mengambil hati rakyat Condet, dengan menghapuskan tuan tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar