KH. Mahmud Romli (1866-1959)
Asal
usul ulama kelahiran daerah Menteng yang sering dipanggil Guru Mahmud
ini tidak terlalu jelas. Tradisi penghormatan kepada Guru yang demikian
kuat telah menghalangi para muridnya, bahkan anak-anaknya sendiri untuk
menanyakan langsung riwayat hidup Guru Mahmud kepada yang bersangkutan.
Adalah tidak sopan atau su’ul adab untuk menanyakan hal-hal
yang bersifat pribadi kepada Guru, kecuali apa yang dituturkan sendiri
oleh sang Guru tanpa diminta oleh muridnya. Terlebih lagi Guru Mahmud
dikenal tidak suka banyak bicara, sehingga sangat sedikit informasi yang
diperoleh mengenai kehidupan masa kecil dan remajanya.
Hanya sedikit saja informasi yang dapat
diketahui mengenai dirinya semasa masih remaja. Guru Mahmud berangkat ke
tanah suci bersama orang tua dan ketiga saudaranya. Namun, semua
anggota keluarga ini meninggal di tanah suci, kecuali Guru Mahmud
seorang, ia kemudian mengembara di Jazirah Arabia oorang diri selama
hampir 17 tahun. Untuk mempertahankan hidup, ia pernah bekerja sebagai
anggota satuan pengaman kafilah dagang yang melintas gurun-gurun Saudi.
Beberapa kebiasaan selama di sana rupanya masih terbawa hingga kembali
ke tanah air, seperti kesukaannya menunggang kuda dan tidak banyak
bicara. Untuk nafkah hidup sekembali di tanah air, ia berdagang burung
dan batu-batuan. Meskipun terbuka kesempatan menjadi penghulu, ia
menolak bekerja dan ia hanya mengharapkan “gaji dari Tuhan saja”
Guru Mahmud mempunyai banyak hobi. Di
antaranya adalah memelihara burung. Ia juga ahli dalam melatih kuda-kuda
yang masih liar untuk dijadikan kuda penarik delman. Ia juga pedagang
yang menjual balsem, keris, burung hingga batu cincin.
Kehidupan sehari-harinya, Guru Mahmud
tidak menampakkan kealimannya. Cara berpakaiannya sangat sederhana dan
membuat orang yang tidak mengenalnya tidak mengetahui bahwa ia seorang
ulama. Ia biasa memakai kaos dengan bercelana pangsi dan sering
duduk-duduk bersama dengan tukang-tukang batu cincin, tukang loak,
tukang gado-gado dan sebagainya. Hal ini yang membuat orang awam sangat
dekat dan tidak sungkan bercanda dengannya. Tetapi para ulama sangat
menghormatinya karena kedalaman ilmunya.
Guru Mahmud dikenal sebagai “jagoan”
yang tegas. Postur tubuhnya yang besar menunjang keberaniaannya
terhadap siapapun. Tetapi ia juga terkenal sebagai ulama Tafsir, yang di
mata muridnya tampak kikuk apabila tiba waktu ngaji ia kelihatan masih
mengurusi burung-burungnya. Para murid hasil didikannya yang menjadi
ulama antara lain Muallim Thabrani Paseban, KH. Abdul Hadi Pisangan, KH
Muhammad (Muallim Muhammad) dari Cakung, Muallim Syafrie dari Kemayoran
dan KH. Abdullah Syafi’i, KH. Fathullah Harun dan KH Syafi’i Hadzami.
Semasa hidupnya, Guru Mahmud mendirikan
Madrasah Muawanatul Ikhwan di Menteng dan pernah menjadi Ketua Masjid
Tangkuban Perahu sejak 1908 sampai meninggal dunia. Masjid tersebut
awalnya bernama Masjid Shihabudin yang didirikan di daerah Menteng
sekitar tahun 1870-an oleh Sayid Ahmad bin Muhammad bin Shahab. Ketika
tempat tersebut akan dibangun Tangsi Militer, Masjid Shihabudin pada
tahun 1912 dipindahkan ke Jl. Tangkuban Perahu, Guntur Setia Budi
Jakarta Selatan
Guru Mahmud wafat pada 27 Ramadhan atau
sekitar tahun 1959 M dalam usia 93 tahun. Awalnya ia dimakamkan di Karet
kemudian dipindah ke TPU Jagakarsa Jakarta Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar