Koran Harian Tempo Doeloe .. |
Dua peperangan terhebat adalah tragedi Sasak Kapuk pada 29 November
1945 dan peristiwa Rawa Gede, Karawang, pada 9 Desember 1947.
Pada
pertempuran Sasak Kapuk, Alie memimpin Lasykar Rakyat melawan pasukan
Sekutu di Pondok Ungu, Bekasi. Gema takbir yang dia kumandangkan untuk
memberi semangat pasukannya berhasil mendesak Sekutu kala itu. Namun,
tentara rakyat yang mulai takabur menjadi lengah menyebabkan sekutu
balik memukul mundur.
Tentara rakyat terdesak di Sasak Kapuk,
Pondok Kapuk, Bekasi dan beberapa pasukan Alie kocar kacir dan sebagian
lagi bertahan. Dalam pertempuran ini sekira 30 pasukan gugur. Alie pun
memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Peristiwa berdarah yang
tidak kalah sengit ialah pembantaian Rawa Gede yang memakan korban lebih
dari 40 orang. Tragedi ini berawal dari perang urat syaraf antara KH
Noer Alie yang memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung
Karekok, Rawa Gede untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil
terbuat dari kertas. Ribuan bendera tersebut ditancapkan di setiap pohon
dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat di
tengah-tengah kekuasaan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Akibat
aksi KH.Noer Alie ini, Belanda murka dan mengira pemasangan bendera merah-putih
diinisiasi oleh TNI. Pasukan Belanda lantas mencari Mayor Lukas
Kustaryo, namun tidak ditemukan.
Belanda yang marah kemudian
membantai sekira empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede yang dikenal
dalam laporan De Exceseen Nota. Nota Ekses itu baru dikeluarkan 20 tahun
setelah peristiwa Rawagede. Kendati pada Januari 1948, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sudah berkesimpulan aksi militer di Rawagede
disengaja dan tanpa belas kasihan dan diyakini sebagai tindakan kriminal
paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda
dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.
Pembantaian keji ini baru
diakui dunia pada Rabu 14 September 2011 melalui putusan Pengadilan Den
Haag yang mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang di Desa
Rawagede, Jawa Barat. Kerajaan Belanda diharuskan membayar kerugian
bagi sekira 400 keluarga korban yang dibantai dalam peristiwa berdarah
tersebut.
Selain berjuang melawan penjajah Belanda, KH Noer Alie
juga aktif di dunia politik. Alie dipilih menjadi Ketua Komite Nasional
Indonesia Daerah Cabang Babelan dan pada 19 September 1945, dia
mengerahkan massa ke Lapangan Ikada untuk mengikuti Rapat Raksasa.
Pada
19 April 1950, KH Noer Alie juga sempat menjabat Ketua Masyumi Cabang
Jatinegara, nama Kota Bekasi saat itu. Puncak karier politiknya yakni
pada tahun 1958, saat KH Noer Alie terpilih sebagai anggota Dewan
Konstituante menggantikan Sjafruddin Prawiranegara yang mengudurkan
diri.
Selain politik KH Noer Ali juga aktif di bidang Sosial dan
pendidikan. KH Noer Alie menggagas pembentukan Lembaga Pendidikan Islam
(LPI ) yang salah satu programnya mendirikan Sekolah Rakyat Islam di
Jakarta dan Jawa Barat. Dalam empat tahun, SRI sudah terbentuk di tujuh
desa yaitu di Pulo Asem, Wates, Buni Bhakti, Pondok Soga, Penggarutan,
Gabus Pabrik dan Kali Abang Bungur dengan proses belajar mengajar yang
sangat sederhana, memanfaatkan rumah, langgar sampai bekas kandang
kerbau yang sudah tidak terpakai.
Pada 1953 KH Noer Alie
membentuk organisasi pendidikan dengan nama Pembangunan Pemeliharaan
Pertolongan Islam (P3) yang dijadikan induk bagi SRI, pesantren dan
kegiatan sosial.
Berkat jasanya yang begitu besar bagi bangsa,
pada 9 November 2006 KH Noer dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Pemerintah Indonesia menganugerahinya Tanda Kehormatan Bintang Maha
Putra Adipradana. Hingga kini, masyarakat Bekasi-Karawang masih
mengenang jasa-jasa ulama berjuluk ‘Si Belut Putih’ dan ‘Singa
Karawang-Bekasi’ itu. Bahkan nama KH Noer Alie kini diabadikan untuk
menjadi nama salah satu jalan di ruas Kalimalang, Bekasi.
Lanjut Skrip :
Awal pertempuran Sasak Kapuk bermula pada tanggal 23 November 1945, ketika pesawat Dakota Inggris jatuh di Rawa Gatel, Cakung, Jakarta Timur. Pesawat Dakota yang berangkat dari lapangan udara Kemayoran, Jakarta Pusat menuju Semarang itu diduga mengalami kerusakan mesin sehingga harus melakukan pendaratan daruraut sekitar jam 11.00 WIB.
Penduduk Cakung, Jakarta Timur segera mengepung pesawat, kemudian menangkap seluruh awak pesawat dan penumpangnya yang berisi 26 orang, dengan rincian 4 orang awak pesawat berkebangsaan Inggris dan 22 orang sisanya berkebangsaan India (Sykh). Setelah senjata mereka dilucuti dan tinggal memakai cawat saja, seluruh tawanan dikirim ke markas TKR Ujung Menteng, untuk selanjutnya dibawa ke markas TKR Batalyon V Bekasi, dan dijebloskan ke dalam sel tangsi polisi Bekasi. Sore harinya, pasukan berkuda dan tank Sekutu dikirim ke tempat kejadian untuk mencari pasukannya. Namun karena tidak mendapatkan hasil, pada malam harinya, mereka kembali ke Jakarta.
Esok harinya, tanggal 24 November 1945, komandan tentara Inggris di Jakarta mengeluarkan maklumat agar seluruh pasukannya yang ditawan TKR tersebut dikembalikan ke Jakarta. Tetapi, pemuda Bekasi menolaknya. Bahkan tiga hari kemudian, seluruh tahanan dieksekusi di belakang tangsi polisi Bekasi. Rencana semula, seluruh mayat tawanan akan dibuang ke kali Bekasi. Tetapi karena kali Bekasi sedang surut sehingga mayatnya dikubur di belakang tangsi polisi yang lubang penguburannya telah disiapkan.
Atas peristiwa ini, tanggal 29 November 1945, Sekutu melakukan penyerangan ke Cakung, Pondok Ungu dan Kranji. Sekutu menggunakan tentara Punjab ke-1/16, Skuadron Kaveleri F.A.V.O ke-11, pasukan perintis ke-13, pasukan Resimen medan ke-37, detasemen kompi medan ke-69, dan dengan 50 truk, 5 meriam serta beberapa mortir dan kanon.
Pertempuran pertama terjadi di Cakung, Jakarta Timur, yang mengakibatkan jatuh korban pada kedua belah pihak. Dari pihak Indonesia ada 13 orang. Merasakan sulitnya menembus pertahanan sampai kota Bekasi, Sekutu kemudian mundur dengan membawa pasukannya yang telah jadi korban. Namun begitu tiba di Pondok Ungu, Sekutu harus berhadapan dengan Laskar Rakyat dan penduduk kampung pimpinan KH. Noer Alie yang dibantu oleh beberapa TKR Laut. Penduduk yang telah menjadi prajurit tempur dikerahkan KH. Noer Alie untuk mengusir Sekutu yang dianggap melanggar garis demarkasi.
Gema takbir dan gema bacaan Hizbun Nasr berkumandang bersamaan dengan langkah pasukan rakyat yang dipimpin langsung oleh KH. Noer Alie. Pada awalnya, tentara sekutu terdesak oleh serangan mendadak pasukan Laskar Rakyat. Namun tidak sampai satu jam pertempuran, tentara Sekutu yang bersenjata lengkap balik menyerang sehingga pasukan KH. Noer Alie terdesak sampai ke jembatan Sasak Kapuk. Untuk menghindari korban jiwa, KH. Noer Alie menginstruksikan seluruh pasukannya untuk mundur. Sebagian pasukan mundur, namun puluhan lainnya tetap bertahan. Saat itulah, tiba-tiba mortir dan meriam Sekutu menyalak. Tidak dapat dihindari, sekitar 30 pasukan Laskar Rakyat menjadi korban. Sedangkan KH. Noer Alie yang sempat lolos dari terjangan peluru Sekutu segera menyelamatkan diri dengan cara menceburkan diri ke kali Sasak Kapuk, sambil menyusuri kali sampai ke utara.
Dari kisah pertempuran Jembatan Sasak Kapuk ini, yang menarik untuk diulas adalah Laskar Rakyat pimpinan KH. Noer Alie.
Siapakah Laskar Rakyat pimpinan KH. Noer Alie ini yang tanpa rasa takut berani mempertaruhkan nyawa dengan persenjataan minim melawan sekutu yang membawa persenjataan berat dan lengkap? Apa rahasia dibalik keberanian mereka? Menurut KH. Noer Alie, Laskar Rakyat dibentuk olehnya karena emosi rakyat tidak terkendali akibat sikap pemimpin Republik Indonesia waktu itu yang hanya bisa menghimbau agar rakyat bersikap tenang, sedangkan rakyat telah dihadapkan oleh kondisi obyektif provokasi Sektu dan NICA. Juga karena TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dibentuk tanggal 5 Oktober 1945 belum mengakar dan belum berwibawa di masyarakat. Pemikiran KH. Noer Alie ini ternyata sejalan dengan Markas Umum TKR di Yogyakarta yang pada tanggal 30 Oktober 1945 mengeluarkan sebuah pernyataan umum tentang pembentukan Laskar Rakyat. Sebagian Laskar Rakyat yang dibentuk dan dipimpin KH. Noer Alie ini adalah murid-muridnya. Kepada murid-muridnya ini, KH. Noer Alie memerintahkan agar untuk sementara waktu berhenti belajar, diganti dengan berjuang fisik menggunakan senjata dalam upaya mengusir penjajah. Proses belajar mengajar akan dibuka kembali, “kelak bila perang selesai.”
Lalu, apa rahasia keberanian Laskar Rakyat ini? Untuk memotivasi dan meningkatkan keberanian para prajuritnya, KH. Noer Alie memerintahkan para Laskar Rakyat yang berjumlah 200 orang untuk berpuasa selama tujuh hari di Masjid Ujungmalang. Selama berpuasa, para prajurit diajarakan membaca doa Hizbun Nasr sampai hafal. Juga ditambah dengan membaca wirid, Ratibul Haddad, shalat tasbih, shalat hajat, dan shalat witir. Jika sudah selesai, mereka dinyatakan “lulus” dengan diberi semacam ijazah yang disimbolkan dengan pemberian lempengan kaleng ukuran kecil berlatar belakang bendera merah putih dan bertuliskan kalimat La Ilaha Illa-Allah, Muhammad ar- Rasul- Allah. Setiap usai penyematan ijazah, KH. Noer Alie berpesan kepada prajuritnya agar tidak bersikap sombong dan angkuh, terutama pada saat pertempuran. Ajaran, amalan-amalan dan wejangan dari sang ulama Betawi terkemuka “Singa Karawang-Bekasi” inillah kunci keberanian Laskar Rakyat, para pejuang dan syuhada pertempuran Jembatan Sasak Kapuk.
Akhir kalam, kini Hizbun Nasr dan Ratibul Haddad masih dibacakan oleh ulama Betawi dan murid-muridnya, latihan silat dan amalan-amalan lainnya seperti yang dikerjakan oleh Laskar Rakyat pimpinan KH. Noer Alie juga dilakukan oleh sebagian mereka untuk berjaga-jaga jika negara membutuhkan.
Post : Bocah Kali Abang
mantap cing kenalin aye betawi tulen rawabelong - kemanggisan
BalasHapusBang, boleh minta emailnya?
BalasHapus