Silat Cingkrik adalah seni bela diri Indonesia yang
perkembangannya termasyur di wilayah Betawi dan telah berumur ratusan
tahun dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Di tiap-tiap daerah di Indonesia ada tokoh-tokoh pencak silat yang
ternama. Salah satu tokoh silat Cingkrik ini diantaranya adalah Ki
Pitung yang menjadi legenda di kalangan masyarakat Betawi. Ki Pitung
bagi masyarakat Betawi adalah pendekar dan pahlawan pembela kaum lemah
dari kesewenang-wenangan penjajah Belanda dan antek-anteknya.
Ki Pitung beliau belajar pencak silat dari seorang haji yang berasal
dari daerah Menes di Banten Jawa Barat. Beliau menyebar-luaskan pencak
silat cingkrik Betawi ini ke daerah Marunda dan ke daerah Rawa Belong
Kebon Jeruk serta daerah Jakarta dan sekitarnya.
Kong Goning (Almarhum)
Tentang Ki Goning, nama aslinya adalah Ainin Bin Urim. Beliau lahir
sekitar tahun 1895 dan meninggal sekitar tahun 1975 pada umur 80 tahun.
Beliau sering dipanggil “Nin” (berubah bunyi menjadi “Ning”) dan
ditambah di depan kata Ning leh orang-orang dengan bahasa Betawi yaitu
dengan kata ejekan “Go” maka menjadi “Goning”.
Ki Goning atau lebih akrab dipanggil Kong Goning adalah seorang pejuang
serta pewaris dan penerus silat Cingkrik Betawi yang cukup termasyur
sehingga murid-murid beliau menisbahkan ilmu silat Cingkrik yang
diterimanya kepada nama beliau sehingga dikenallah “Cingkrik Goning”.
Menurut penjelasan dari Haji Husien (amak kedua dari Kong Goning), bahwa
beliau sering pergi ke daerah Marunda (Cilincing Tanjung Priok) tempat
dimana Ki Pitung jaya pada zamannya. Beliau pulang ke Kedoya dari
Marunda 2, 3 sampai 4 hari lamanya (tidak dijelaskan apa tujuannya).
Kong Goning mempunyai 4 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan. Nama anak laki-laki beliau adalah :
1. Kosim (Almarhum)
2. Haji Husien
3. Haji Sa’adih
4. Hasan Jago/Mandor (Almarhum)
Di daerah Kedoya, pencak silat Cingkrik Betawi ada 2 macam aliran, yaitu:
1. Aliran silat Cingkrik Betawi Sinan dengan ciri gerakan jurus pendek-pendek.
2. Aliran silat Cingkri Betawi Goning dengan ciri gerakan jurus panjang dan lebar.
Gerakan utama dalam silat ini menggunakan satu kaki untuk melompat.
Karena gerakan ini orang Betawi kemudian menyebutnya jejingkrikan dan
kemudian disebut jingkrik atau cingkrik. Aliran cingkrik pertama kali
dikembangkan oleh Ainin bin Urim yang biasa dipanggil Engkong Goning
(1895-1975) di Rawa Belong, Kebon Jeruk dan Jembatan Dua. Engkong Goning
yg merupakan pejuang dari wilayah Kedoya. Ilmunya kemudian diturunkan
kepada Usup Utay, yang kemudian menurunkan kepada mantunya yaitu Tubagus
Bambang Sudrajat yang kini memimpin padepokan silat di TMII.
Saat ini aliran cingkrik terbagi dua yaitu cingkrik sinan dan cingkrik
goning. Perbedaan di antara keduanya adalah cingkrik sinan menggunakan
ilmu kontak sementara cingkrik goning hanya mengandalkan kelincahan
fisik.
Cingkrik goning mengaplikasi sistem tingkatan dimana yang tertinggi
adalah sabuk merah dengan lima strip. Untuk mencapai tingkatan tersebut
memakan waktu maksimal 7 tahun dimana seseorang harus menguasai 4
tahapan. Pertama, menguasai 12 jurus dasar cingkrik goning. Kedua,
belajar sambut. Ketiga, mempelajari 12 jurus dasar yaitu 80 bantingan
khas cingkrik goning. Keempat, adalah jual beli atau bertarung.
Sejarah dan Perkembangan Maenpukulan Cingkrik
Dahulu banyak orang Rawa Belong yang menimba ilmu ke Kulon (tidak dapat
dipastikan tempatnya, karena Meruya dan Tangerangpun sudah dianggap
Kulon oleh orang-orang Rawa Belong pada waktu itu) untuk belajar ilmu
agama dan ilmu beladiri, baik ilmu batin maupun maenpukulan.
Salah satu dari sekian banyak orang Rawa Belong yang belajar ke Kulon
itu adalah Ki Maing, namun belum tuntas belajar, Ki Maing memutuskan
untuk kembali pulang ke Rawa Belong. Hingga sampai pada suatu ketika, Ki
Maing yang sedang berjalan, tongkatnya direbut oleh seekor kera milik
tetangganya yang bernama Nyi Saereh. Spontan Ki Maing menarik kembali
tongkatnya, hingga terjadilah perebutan tongkat antara Ki Maing dan kera
milik Nyi Saereh. Si kera tidak mau mengalah begitu saja, dengan sigap
dan lincahnya berusaha menarik kembali tongkat Ki Maing dengan disertai
beberapa gerakan serangan dan pertahanan yang menyerupai jurus silat. Ki
Maing sangat terkesan akan gerakan-gerakan kera tersebut, hingga hampir
setiap hari Ki Maing mendatangi kera itu untuk kemudian mempelajari dan
menganalisanya. Setiap gerakan pertahanan si kera yang lincah itu
diiringi serangan, begitupun sebaliknya setiap serangan merupakan
pertahanan. Dengan kombinasi antara kaki dan tangan yang begitu gesit
dan lincah. Dari pengamatan gerakan natural kera tersebut, dan
ketekunannya berlatih, oleh Ki Maing dikembangkan menjadi sebuah gerakan
atau jurus silat, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Cingkrik.
Setelah merasa menguasai maenpukulan Cingkrik yang diinspirasikan dari
gerakan kera milik Nyi Saereh tadi, Ki Maing memutuskan untuk kembali ke
padepokannya di Kulon. Untuk menguji sampai dimana keberhasilan
jurus-jurus barunya itu, Ki Maing “menjajal” satu persatu teman
seperguruannya itu, yang hasilnya tidak satupun teman seperguruannya
berhasil mengalahkannya. Pada akhirnya guru Ki Maing pun turut serta
menjajal kehebatan jurus baru muridnya itu, namun kenyataan yang dialami
oleh teman-teman seperguruan Ki Maing, dialami pula oleh gurunya.
Gemparlah seluruh padepokan itu dan sang gurupun mengakui kehebatan
jurus barunya Ki Maing itu.
Sekembalinya ke Rawa Belong, Ki Maing menyebarluaskannya dengan
menularkan jurus barunya itu kepada jawara-jawara Rawa Belong yang pada
fase ini, mulai dikenal nama maenpukulan Cingkrik, karena sebelumnya
orang Rawa Belong hanya mengenal Cingkrik dengan sebutan “maenpukul”.
Dari Ki Maing diturunkan kepada tiga orang, yaitu Ki Saari, Ki Ajid, dan
Ki Ali.
Dasar Jurus Cingkrik ada 12, yaitu:
1. Keset Bacok
2. Keset Gedor
3. Cingkrik
4. Langkah 3
5. Langkah 4
6. Buka Satu
7. Saup
8. Macan
9. Tiktuk
10. Singa
11. Lokbe
12. Longok
Ditambah atau dilanjutkan dengan sambut: 1. Sambut 7 muka 2. Sambut Gulung 3. Sambut Detik/Habis
Adapun gerakan jurus gabungan dari 1-12 disebut sebagai Bongbang, yang biasanya digunakan untuk atraksi di panggung-panggung.
Berdasar
tulisan asli Cacang tentang Sejarah Silat Cingkrik Rawa Belong, dengan
nara sumber sesepuh Maenpukulan Cingkrik Rawa Belong diantaranya : Bang
Nunung dan Bang Warno (Suwarno Ayub)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar