Memelihara Tradisi Lama Yang Baik Dan Mengambil Tradisi Baru Yang Lebih Baik

Jumat, 11 Maret 2016

KH. MUCHTAR THABRANI (1912-1971)

kh muchtar tabrani
KH. Muchtar Thabrani bin Thabrani bin KH. Nairun dilahirkan pada tahun 1912 di Kaliabang Nangka Bekasi Utara. Thabrani, ayahnya, adalah seorang petani daun sirih yang hasilnya dijual untuk membiayai hidup keluarganya yang kadang tak menentu hasilnya. Sedangkan KH. Nairun, kakeknya, berasal dari Caringin Banten, teman dekat KH. Asnawi Caringin.

Muchtar adalah anak pertamanya yang sangat diharapkan menjadi seorang ulama maka Thabrani menyerahkan Muchtar pada guru Mughni untuk belajar Al-Qur’an. Harapan Thabrani agar Muchtar menjadi ulama begitu besar. Jika ada orang alim berkunjung ke Kaliabang  Nangka, Thabrani segera mendatangi orang tersebut untuk minta didoakan agar anaknya Muhtar menjadi orang yang alim di kemudian hari. Untuk memperdalam pengetahuan agama anaknya, Muchtar, maka Thabrani mengirimkan Muchtar belajar kepada Guru Marzuki Cipinang Muara

Setelah dewasa dan telah memiliki pengetahuan yang cukup memadai, Muchtar pun kembali ke kampung halamannya untuk mengabdikan ilmu dan memulai perjalanan dakwah di kampungnya yang saat itu masih kental dan sarat dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ketika itu di Kaliabang Nangka masih sangat akrab dengan pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme. Persembahan untuk makhluk halus dan percaya bahwa benda-benda mati mempunyai kekuatan ghaib dan dapat menolong manusia, bukan merupakan pemandangan yang aneh saat itu. Dari sini Muchtar merasa terpanggil untuk membenahi aqidah orang kampungnya, yang sudah semakin jauh dari ajaran Islam yang benar. Sedikit demi sedikit Muchtar mulai merubah pola hidup keagamaan di kampungnya.

Seiring dengan perjalanan dakwahnya, terbersit di hati Muchtar untuk berangkat ke tanah suci guna melaksanakan rukun Islam yang kelima. Namun keinginan itu tak langsung begitu saja terwujud. Muchtar membutuhkan waktu enam tahun untuk mengumpulkan uang sebesar tiga ribu enam ratus rupiah untuk ongkos berangkat haji yang kala itu masih menggunakan kapal laut.

Selain berencana untuk melaksanakan haji, Muchtar juga berniat menuntut ilmu agama di tanah suci. Tentang rencananya itu, Muchtar tidak memberi tahu semua anggota keluarganya termasuk ayahnya kecuali Abdurrazzaq, adik kandungnya. Maka pada tahun 1937 dengan modal biaya tiga ribu enam ratus rupiah ia bcrangkat pergi haji dan menuntut ilmu di Makkah.

Di tanah suci Muchtar kemudian menimba ilmu kepada beberapa orang guru. Di antaranya adalah Syeikh Muchtar Al- Atharied, Syeikh Alwi Al-Maliki, Syeikh Ahyad dan beberapa orang guru lainnya. Namun  guru yang paling dekat dan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan perkembangan keilmuannya adalah Syeikh Alwi Al-Maliki.

Selama menimba ilmu di tanah suci, Muchtar kerap berhadapan dengan kondisi perekonomian yang cukup mcmperihatinkan, namun Muchtar tetap semangat untuk belajar. Sctelah belajar selama 13 tahun, Muchtar pun memutuskan untuk kembali ke tanah air setelah mendapat restu dari guru-gurunya. Di saat perjalanan pulang menuju tanah air, ketika Muchtar masih di dalam kapal laut, ia menerima khabar bahwa Thabrani, ayahnya, telah berpulang menghadap Allah SWT.

Pada tahun 1950 atau saat berusia sekitar 38 tahun dan setelah pulang dari Makkah, H. Muchtar menikah dengan gadis berusia 14 tahun, Hj. Ni’mah, putri KH. Ismail Jatinegara dan adik dari KH. Abdul Hadi (Guru Hadi). Ketika itu ia meminta dua orang sahabatnya, KH. Nur Ali (Ujung Harapan) dan KH. Tambih (Kranji) untuk membantu proses pemikahannya, mulai dari menyampaikan lamaran hingga acara pernikahan. Dari pernikahan ini H. Muchtar dikaruniai 4 putra dan 4 putri.

Pada tahun 1952, KH. Muchtar mendirikan Pondok Pesantren Raudhatul Athfal untuk putra dan Raudhatul Banat untuk putri. Pondok Pesantren inilah yang nantinya menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren An Nur yang dikenal sekarang. Dalam mengajar santri-santrinya, KH. Muchtar biasanya sambil bekerja di kebun. Santri membaca kitab sementara KH. Muchtar menyimak bacaan santri sambil menyabuti rumput liar yang tumbuh di kebun kangkung, singkong dan jeruk miliknya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, KH. Muchtar memang mengandalkan hasil kebunnya. Jika panen tiba, santri-santrinya yang membawa hasil panen tersebut ke pasar. Selama mengajar santrinya—begitupula mendidik putra-putrinya, KH. Muchtar dikenal cukup tegas dan keras. Hal itu sebagai bentuk gemblengan agar para santri dan putra-putrinya belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun. Pada perkembangannya, santri-santri dan putra putrinya kini telah meneruskan perjuangan KH. Muchtar dan telah banyak mendirikan Pondok Pesantren, madrasah dan majlis taklim.

Semasa hidupnya, KH. Muchtar tak pernah lepas dari salam dan doa bila bertemu dengan orang, termasuk kepada anak kecil. KH. Muchtar selalu berucap “Assalamu’alaikum, mudah-mudahan barokah”. Suatu ketika seorang pedagang tempayan yang sedang memikul dagangannya bertemu dengan KH. Muchtar, saat itu juga KH. Muchtar pun memberi salam kepadanya. Tidak berapa lama setelah pertemuan itu, barang dagangan yang dipikulnya itu habis terjual tidak seperti hari-hari biasanya. Tetapi satu hari pedagang tersebut tidak menjumpai KH. Muchtar dan anehnya penjualan barang dagangannya tidak selaris hari kemarin. Karena penasaran, esoknya pedagang ini pun berangkat pagi-pagi sekali menuju kediaman KH. Muchtar dengan harapan bertemu dan mendapai ucapan salam dan doa berkah. Pedagang ini pun berdiri dan menunggu di depan kediaman KH. Muchtar. Tidak lama keluarlali KH. Muchtar dari rumahnya. Melihat ada seorang tamu berdiri di depan rumahnya, KH. Muchtar pun memberi salam kepadanya. dengan ucapan seperti biasanya, “Assalamu’alaikum, mudah mudahan barokah” lalu mengajak tamu tersebut untuk masuk ke dalam rumahnya. Tetapi pedagang itu menolak dengan halus, dan mengatakan bahwa ia hendak berangkat keliling kampung untuk menjual barang dagangannya. Tak lama setelah itu, tak disangka barang dagangannya pun habis terjual dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sejak peristiwa itu, hampir setiap hari di pagi hari para pedagang berkumpul di rumah KH. Muchtar dengan harapan bertemu dan mendapatkan salam dan doa darinya.

Pada tahun 1971, KH. Muchtar wafat di usia 59 tahun dan dimakamkan di samping masjid An-Nur. KH. Muchtar Tabrani mewariskan karyanya yang berjudul Thargibul Ihwani, pondok pesantren yang ia dirikan pada tahun 1952 kemudian berubah nama menjadi An-Nur pada tahun 1978 dan masjid An-Nur yang ia dirikan pada tahun 1968. Kini perjuangan dakwahnya diteruskan oleh anak dan keturunannya. Untuk mengenang jasa-jasanya, pada tahun 1978 namanya diabadikan menjadi nama jalan yaitu Jalan KH. Muchtar Thabrani di Kaliabang Nangka Bekasi Utara Kota Bekasi.
Share Button

Tidak ada komentar:

Posting Komentar