KH. Muchtar Thabrani bin
Thabrani bin KH. Nairun dilahirkan pada tahun 1912 di Kaliabang Nangka
Bekasi Utara. Thabrani, ayahnya, adalah seorang petani daun sirih yang
hasilnya dijual untuk membiayai hidup keluarganya yang kadang tak
menentu hasilnya. Sedangkan KH. Nairun, kakeknya, berasal dari Caringin
Banten, teman dekat KH. Asnawi Caringin.
Muchtar adalah anak pertamanya yang
sangat diharapkan menjadi seorang ulama maka Thabrani menyerahkan
Muchtar pada guru Mughni untuk belajar Al-Qur’an. Harapan Thabrani agar
Muchtar menjadi ulama begitu besar. Jika ada orang alim berkunjung ke
Kaliabang Nangka, Thabrani segera mendatangi orang tersebut untuk minta
didoakan agar anaknya Muhtar menjadi orang yang alim di kemudian hari.
Untuk memperdalam pengetahuan agama anaknya, Muchtar, maka Thabrani
mengirimkan Muchtar belajar kepada Guru Marzuki Cipinang Muara
Setelah dewasa dan telah memiliki
pengetahuan yang cukup memadai, Muchtar pun kembali ke kampung
halamannya untuk mengabdikan ilmu dan memulai perjalanan dakwah di
kampungnya yang saat itu masih kental dan sarat dengan hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ketika itu di Kaliabang Nangka
masih sangat akrab dengan pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme.
Persembahan untuk makhluk halus dan percaya bahwa benda-benda mati
mempunyai kekuatan ghaib dan dapat menolong manusia, bukan merupakan
pemandangan yang aneh saat itu. Dari sini Muchtar merasa terpanggil
untuk membenahi aqidah orang kampungnya, yang sudah semakin jauh dari
ajaran Islam yang benar. Sedikit demi sedikit Muchtar mulai merubah pola
hidup keagamaan di kampungnya.
Seiring dengan perjalanan dakwahnya,
terbersit di hati Muchtar untuk berangkat ke tanah suci guna
melaksanakan rukun Islam yang kelima. Namun keinginan itu tak langsung
begitu saja terwujud. Muchtar membutuhkan waktu enam tahun untuk
mengumpulkan uang sebesar tiga ribu enam ratus rupiah untuk ongkos
berangkat haji yang kala itu masih menggunakan kapal laut.
Selain berencana untuk melaksanakan
haji, Muchtar juga berniat menuntut ilmu agama di tanah suci. Tentang
rencananya itu, Muchtar tidak memberi tahu semua anggota keluarganya
termasuk ayahnya kecuali Abdurrazzaq, adik kandungnya. Maka pada tahun
1937 dengan modal biaya tiga ribu enam ratus rupiah ia bcrangkat pergi
haji dan menuntut ilmu di Makkah.
Di tanah suci Muchtar kemudian menimba
ilmu kepada beberapa orang guru. Di antaranya adalah Syeikh Muchtar Al-
Atharied, Syeikh Alwi Al-Maliki, Syeikh Ahyad dan beberapa orang guru
lainnya. Namun guru yang paling dekat dan paling banyak mempengaruhi
pola pikir dan perkembangan keilmuannya adalah Syeikh Alwi Al-Maliki.
Selama menimba ilmu di tanah suci,
Muchtar kerap berhadapan dengan kondisi perekonomian yang cukup
mcmperihatinkan, namun Muchtar tetap semangat untuk belajar. Sctelah
belajar selama 13 tahun, Muchtar pun memutuskan untuk kembali ke tanah
air setelah mendapat restu dari guru-gurunya. Di saat perjalanan pulang
menuju tanah air, ketika Muchtar masih di dalam kapal laut, ia menerima
khabar bahwa Thabrani, ayahnya, telah berpulang menghadap Allah SWT.
Pada tahun 1950 atau saat berusia
sekitar 38 tahun dan setelah pulang dari Makkah, H. Muchtar menikah
dengan gadis berusia 14 tahun, Hj. Ni’mah, putri KH. Ismail Jatinegara
dan adik dari KH. Abdul Hadi (Guru Hadi). Ketika itu ia meminta dua
orang sahabatnya, KH. Nur Ali (Ujung Harapan) dan KH. Tambih (Kranji)
untuk membantu proses pemikahannya, mulai dari menyampaikan lamaran
hingga acara pernikahan. Dari pernikahan ini H. Muchtar dikaruniai 4
putra dan 4 putri.
Pada tahun 1952, KH. Muchtar mendirikan
Pondok Pesantren Raudhatul Athfal untuk putra dan Raudhatul Banat untuk
putri. Pondok Pesantren inilah yang nantinya menjadi cikal bakal
berdirinya Pondok Pesantren An Nur yang dikenal sekarang. Dalam mengajar
santri-santrinya, KH. Muchtar biasanya sambil bekerja di kebun. Santri
membaca kitab sementara KH. Muchtar menyimak bacaan santri sambil
menyabuti rumput liar yang tumbuh di kebun kangkung, singkong dan jeruk
miliknya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, KH. Muchtar memang
mengandalkan hasil kebunnya. Jika panen tiba, santri-santrinya yang
membawa hasil panen tersebut ke pasar. Selama mengajar
santrinya—begitupula mendidik putra-putrinya, KH. Muchtar dikenal cukup
tegas dan keras. Hal itu sebagai bentuk gemblengan agar para santri dan
putra-putrinya belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun. Pada
perkembangannya, santri-santri dan putra putrinya kini telah meneruskan
perjuangan KH. Muchtar dan telah banyak mendirikan Pondok Pesantren,
madrasah dan majlis taklim.
Semasa hidupnya, KH. Muchtar tak pernah
lepas dari salam dan doa bila bertemu dengan orang, termasuk kepada
anak kecil. KH. Muchtar selalu berucap “Assalamu’alaikum, mudah-mudahan barokah”.
Suatu ketika seorang pedagang tempayan yang sedang memikul dagangannya
bertemu dengan KH. Muchtar, saat itu juga KH. Muchtar pun memberi salam
kepadanya. Tidak berapa lama setelah pertemuan itu, barang dagangan yang
dipikulnya itu habis terjual tidak seperti hari-hari biasanya. Tetapi
satu hari pedagang tersebut tidak menjumpai KH. Muchtar dan anehnya
penjualan barang dagangannya tidak selaris hari kemarin. Karena
penasaran, esoknya pedagang ini pun berangkat pagi-pagi sekali menuju
kediaman KH. Muchtar dengan harapan bertemu dan mendapai ucapan salam
dan doa berkah. Pedagang ini pun berdiri dan menunggu di depan kediaman
KH. Muchtar. Tidak lama keluarlali KH. Muchtar dari rumahnya. Melihat
ada seorang tamu berdiri di depan rumahnya, KH. Muchtar pun memberi
salam kepadanya. dengan ucapan seperti biasanya, “Assalamu’alaikum, mudahmudahan barokah”
lalu mengajak tamu tersebut untuk masuk ke dalam rumahnya. Tetapi
pedagang itu menolak dengan halus, dan mengatakan bahwa ia hendak
berangkat keliling kampung untuk menjual barang dagangannya. Tak lama
setelah itu, tak disangka barang dagangannya pun habis terjual dalam
waktu yang tidak terlalu lama. Sejak peristiwa itu, hampir setiap hari
di pagi hari para pedagang berkumpul di rumah KH. Muchtar dengan harapan
bertemu dan mendapatkan salam dan doa darinya.
Pada tahun 1971, KH. Muchtar wafat di
usia 59 tahun dan dimakamkan di samping masjid An-Nur. KH. Muchtar
Tabrani mewariskan karyanya yang berjudul Thargibul Ihwani, pondok
pesantren yang ia dirikan pada tahun 1952 kemudian berubah nama menjadi
An-Nur pada tahun 1978 dan masjid An-Nur yang ia dirikan pada tahun
1968. Kini perjuangan dakwahnya diteruskan oleh anak dan keturunannya.
Untuk mengenang jasa-jasanya, pada tahun 1978 namanya diabadikan menjadi
nama jalan yaitu Jalan KH. Muchtar Thabrani di Kaliabang Nangka Bekasi
Utara Kota Bekasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar